Labels

April 01, 2014

Aku dan Dia

Ini hari pertama bulan April. Saya punya ekspektasi lebih pada bulan ini. Semoga tidak sesuram bulan lalu. April bulan penuh harapan, semoga harapan-harapan yang mengawang diangkasa segera dikabulkan. Kesannya memaksa ya, tapi saya memang dalam keadaan emergency.

Saya bersyukur atas hidup saya. Meskipun memang tidak se-fairy tale-an ala hidup Yuan Xiang Qin, tapi saya yakin hidup saya juga istimewa. Saya punya cita-cita, yang meskipun belum saya temukan tapi saya yakin cita-cita saya indah. Saya orang baik, hati saya sebenarnya lembut, meskipun secara penampilan saya terkesan antagonis. Tuhan menyayangi saya karena saya orang baik. Ngomongin beginian saya berasa kayak sedang promo nyari calon suami. Apakah saya akan menikah nanti?, saya tidak yakin. Karena selama ini saya belum pernah jatuh cinta, dan standardisasi romance saya terlalu tinggi, berkat puluhan drama yang telah saya tonton.

Sebagaimana layaknya manusia, saya memiliki sisi gelap. Kadang saya terlalu keras, dan saya tak terkendali. Saya tak bisa mengendalikan emosi saya. Saya sering menyesalinya. Terlebih tentang sikap saya ke Ibu saya. Bagaimana bisa manusia berubah begitu drastis?. Dulu saya menomor satukan ibu saya. Saya tak bisa hidup tanpa dia. Maka dari itu saya gak pernah ditinggal kemana-mana. Saya merasa gak bisa bernafas kalau gak ada ibu. Aku rasa kayak gitulah cinta, menurut drama yang telah aku tonton.

Aku berubah kemudian menjadi biasa aja meskipun gak ada ibu disekitarku. Aku jadi punya dunia sendiri. Tapi ibu rupanya waktu itu masih belum sepenuhnya bisa tanpa aku. Cinta memang begitu, kadang berat sebelah. Kalau di drama romance, kejadian begini pasti membuat hubungan gak stabil terus putus cinta. Tapi hubungan ibu dan anak beda, kita gak terputuskan, seberapapun kejamnya salah satu pihak.

Perubahan itu kemudian menjadi semakin ekstrem dimana kemudian aku malah merasa gak nyaman berada disekitar ibu. Aku gak tahu kenapa. Aku pengen konsultasi kejiwaan, atau apalah. Ini fenomena yang tidak aku ketahui alasannya. Aku tidak suka dia, aku tidak nyaman berada disekitarnya, dan kemudian aku bersikap yang kurang baik padanya. Aku sampai di level anak durhaka. Aku masih belum tahu mengapa. Aku gak pernah merasa rindu meski berjauhan amat sangat lama. Aku sudah merasa gak nyaman meskipun itu di menit pertama dalam pertemuan kita  setelah lama terpisah, Aku tahu aku durhaka, tapi aku gak tahu kenapa.

Aku sering menyesali sikapku yang tidak baik kepadanya setelah ia tidak ada disekitarku. Lalu aku mengiriminya pesan basa-basi, karena merasa bersalah. Tapi aku gak interest lagi setelah dapat respond. Aku kejam.

Sekejam-kejamnya aku, aku tahu bahwa aku penting baginya. Makanya berat untuk meninggalkannya terlalu jauh. Karena dia pasti amat sedih. Biar aku jadi anak durhaka yang penting aku gak membuatnya terlalu sedih. Aku takut aku menyesal, yang terlalu menyesal.

Aku merindukan hari-hari dulu. Ketika semua indah meski kehidupan susah. Ketika hanya ceritanya yang bisa aku dengarkan. Ketika hujan dan lampu padam lalu bercengkerama bersama.  Untuk kenangan yang seperti itu jiwaku memberontak. Aku tidak menyukainya karena dia amat berbeda dengan yang kutahu dulu. Aku tidak tahu apa yang membuatnya begitu. Sekarang apapun yang dia lakukan nampak tidak pas dalam pandanganku. Aku yang berubah, atau dia juga?. Aku rasa kita sama-sama berubah. Karena hidup berubah. Apa yang pernah kita miliki bersama telah hilang, yang tersisa hanya kutukan. dan kita tinggal jasad, yang jiwanya telah lama berkelana. Aku dan dia sudah lama berada pada persimpangan jalan yang berbeda. Apa yang dia mau, dan apa yang aku mau jelas berbeda. Pikiran kita berbeda, bahkan kita sudah tidak nyambung lagi waktu bicara. Ini salah siapa? aku kah penyebab semua ini?. Aku tidak tahu.

0 komentar: