PENDAHULUAN: Senja di Surabaya
Itulah narasi dari drama sore
yang aku tonton hari ini. Bukan drama sebenarnya, lebih kepada realitas yang
terdustakan. Kenapa harus terdustakan?, karena untuk mengakuinya agak
memalukan. Jadi once upon a time, senja
di Surabaya merupakan yang terindah dari kota-kota lainnya (kota yang kumaksud
adalah peradaban nomadenku; Jember, Banyuwangi, Kediri, Blitar, Sragen, e.t.c).
Senja saat itu sangat spesial, karena sebelum senja menapaki riwayatnya di bumi
Surabaya, aku yang dalam kondisi mengenaskan mendapat pesan singkat yang isinya
paling kusukai dari segala pesan yang telah kuterima. Apalagi kalau tidak
tentang uang.
Jadi hari itu ada rejeki tak
terduga yang tiba-tiba mampir. Nah, bertepatan dengan saat itu aku sedang
bersua dengan temanku, yang sikapnya lebih memposisikan diriku ini sebagai
emaknya dibandingkan dengan temannya. Secara otomatis dia merengek menagih
traktiran. Senja di Surabaya kita habiskan dengan menelusuri jalanan macet di
tanah Bonek ini.
Hanya berputar ke mall sejenak,
karena aku tidak mendapatkan apapun yang kumau (apa sih yang kumau?, hanya seuntai janji
manis yang tak akan ditepati – apa sih?? =.=” ). Setelah itu mendengarkan
rengekannya sepanjang jalan membuatku akhirnya menyerah. Kuturuti kemauannya,
kemanapun dia akan membawaku. Sampai kita akhirnya nyantol ke sebuah resto
fenomenal di depan stasiun gubeng lama (tidak sebut nama karena tidak terikat
kontrak dengan perusahaan bersangkutan :D). Eh, rupanya sudah di booking full oleh perusahaan X yang
mengadakan buber dengan para pegawai.
Yasudah, kita berlanjut ke mall
paling fenomenal di Surabaya untuk menemukan restoran sejenis. Sesampainya di
restoran yang berada di lantai 5 tersebut, terkejutlah kita bahwa kita harus
ngantri dulu. Sembari ngantri ngacirlah kita ke mushola untuk menunaikan ibadah
shalat maghrib. Melihat resto yang full
dan antriannya yang panjang, saya sempat heran dengan adanya fenomena kelaparan
di luar sana. “Betulkah fenomena itu?, apakah hanya tipuan?. Bagaimana bisa ada
fenomena rakyat kelaparan disaat resto mahal itu manusia dan sampek ngantri
pula, sungguh paradoks yang menggelikan”.
Akhirnya kami mendapatkan seat juga setelah menunggu amaaaaaatttt
lamaaaa sekali. Dalam masa penantian itu kami berdiskusi, melihat bagaimana
cara makan disana. “eh modelnya prasmanan ya?, sepuasnya katanya. Terus gimana
totalannya?”. “Dimana nasinya?”. “Gimana cara masaknya?”. “Kenapa dagingnya
mentah semua?”. Kita benar-benar terlihat paling ndesooo disitu, padahal aku yaqiiin
bahwa tampangku gak ndeso-ndeso amat, tapi tabiat kita yang clinguk’an kayak
maling sungguh menampakkan kekatrok’an kita. Aku sadar hal itu, tapi aku
bertekad untuk Be My Self, whatever they
thought.
ISI: Great Adventure
Saat pramusaji menyiapkan seat kita, iseng-iseng teman saya sebut
saja Han Hyo Joo (eh, lak seneng areke disebut gitu), yang bulan ini baru saja
berkepala dua, mewawancarai si pramusaji itu. “Mbak, gimana ya caranya agar
kita tahu harganya”. “paketan mbak, each
adult seharga 125 ribu”. Okeee, aku sudah mendengarnya dan tetap calm down berlagak elegan. Kita sudah
makan takjil puding dan es campur yang luar biasa enak rasanya, mau apalagi
teruuss???. Begitu si pramusaji pergi, aku berujar pada si Han hyo Joo: “Eh,
ada pintu keluar lain gak selain di tempat kasir itu?”. “Sorii Ha Ji Won (aku
maksudnya :P), kayaknya gak ada deh” jawabnya lugu. “Kalau pintu ajaib doraemon?”.
“Gak ada juga” jawabnya sambil nyengir. “Oke kalau begitu yang bisa kita
lakukan sekarang adalah membuat mereka bangkrut, kita rampok resto ini”. HAHAHAHAHA..
akhirnya kita siapkan kostum topeng mata satu kita bak perompak (ngiiikkk..)
Alhasil kita mengambil segala
macam dises seperti orang kesurupan.
Buanyaaaaaaaaaaak bangett, sampai kita gak tau bagaimana cara menghabiskannya.
Cara makannya saja kita gak tau pleaseeee... Kita udah mengambil segala menu yang
ada dan di depan kita ada panci mendidih dan tempat panggang. “Terus gimana
cara masukinnya ke situ?” tanya Han Hyo Joo kepadaku yang sama tololnya. “Yah
ini ada sumpit kan?”. Oke aksi kita mulai lancarrr. Kita menikmati saat-saat
itu (atau tepatnya memaksakan diri untuk menikmati karena gimana lagi, ibarat
pepatah jawa wes kadong teles yo nylulup
pisan :D, translate sendiri yooo??).
Begitu mencicipinya, sekali gigit
komenku untuk yang pertama kali adalah “enak, sial!”. Ucapan itu berkali-kali
kita ucapkan sudah kayak yel-yel. Yel-yel ini berkhasiat banget sebagai pelipur
lara hati kita yang harus bangkrut begitu melewati pintu keluar itu :P. Karena
bagaimanapun juga di lubuk hati kita yang paling dalam nyesek juga menghabiskan
jatah makan seminggu dalam semalam, tidak! sejam lebih tepatnya karena kita
juga harus keburu pulang. Oleh karena itu timbullah ide katrok nan bego kita.
Yaitu menyembunyikan beberapa makanan ke dalam tas untuk dibawa pulang
(ngakzzzz!!).
Jadi kita mengambil beberapa fried
ebi yang satu persatunya kita balut dengan tisu dengan cara yang amat
hati-hati (selayaknya siswa yang sedang mencontek saat ujian). Si Han Hyo Joo
yang beraksi, aku hanya bertugas mengkondusifkan TKP, sungguh duo bandit kita
ini. Entah kenapa saat kita beraksi para pramusaji lalu lalang mendatangi
tempat kita. Betapa sensasinya membuat kita hampir terserang stroke.
Jadi intinya kita itu ketahuan
oleh managernya. Tuhan menunjukkan kepada kita bahwa itu adalah jalan yang
bukan terlalu buruk tapi tetap saja tidak baik. Kita gak mau mengakui bahwa
kita nyuri, tentu saja, disanapun tidak ada peringatan bahwa dilarang membawa
makanan pulang, namun karena hal itu tidak umum maka kita gengsi untuk secara
resmi membawa makanan pulang, jadi ini bisa dikatakan merupakan unofficial ways (bahasa kerennya, tapi
tetap saja istilahnya semi-maling :D). Please ya jangan nuduh kita nyuri, kita
bayar tunia pleaseee.. dengan angpao lebaran yang terpaksa melayang di senja
bolonggggg...
Jadi ditengah aksi itu api
panggang kita tiba-tiba menyala sedikit over-reacted
dan mengundang banyak pramusaji untuk menangani masalah itu. Aku rasa pramusaji
tersebut menangkap basah kita, karena setelah itu kemudian managernya (gak tau
deh manager atau apa, dia yang kelihatan paling sok dan berseragam resmi). Si
manager mendatangi kita dan bertanya: “Apa ada yang bisa kita bantu?”. Aku
menjawab: “We’re fine thank you J”.
Yah, dia melihat pada pojok dimana transaksi itu berjalan, aku rasa kita telah
tertangkap. Aku berfikir mungkin kita ditegur, dampak paling mengerikan
orang-orang disekitar akan tahu aksi kita dan kita bakaaaalll amat malu sekali.
Namun aku tahu dia baik, dan dia mengerti sekali bahwa kita adalah mahasiswa
miskin yang mencoba untuk hidup di ‘Lala
land’ barang sesaat.
KONKLUSI: Hikmahnya adalah...
Meskipun begitu kita pulang
dengan hati yang amat puas. Bahkan kita berencana untuk mengulanginya lagi
(mampir ke resto itu maksudnya, bukan mengulangi tindakan kriminil itu :D). Dannnnnn...
yah demi mengobati rasa penasaran kita selama ini terhada fenomenalitas resto
itu, biaya yang kita keluarkan pantas kok. Next
kita sepakat untuk mampir ke warung ice
cream yang juga fenomenal, ada dinamika apalagi disana?, tunggu saja
tanggal mainnya. FIGHTING!!
2 komentar:
hahahaha
untung managernya baik, nek gag uda di geledah tasmu. malu tyuu...
*penasaran sama klawan mainmu ini, hmmmmmm....
bukan managernya yang baeekk.. tapi wajah melass kita yang yang berhasil membuatnya iba..
lawan main?? memang sinetron..
ada deh, mau tau aja kau!!
ayo tul, kapan kau ultah bawa aku kesana.. :D
Posting Komentar