Labels

Juli 30, 2012

a Piece of Reality

Gubuk ini hampir roboh, satu persatu penghuninya telah meninggalkan tempat ini. Namun aku tetap berada di sudut ruangan, mencoba mengobrak-abrik isi otak yang aku sadari tidaklah berisi hal-hal kreatif. Jadi jangan paksa aku untuk menemukan ide brilian, aku hanyalah manusia yang berdiri dengan segenap sense, yang memandang apapun menggunakan sense, persetan dengan segala ide jeniusmu yang kau simpan rapat-rapat namun tak kau gunakan untuk mengubah dunia agar menjadi lebih baik. Hanya bermodalkan sense, aku yakin sesuatu yang berguna dapat aku lakukan. Karena aku serupa plato dalam segenap indera perasa.

--> Hidup ini tidak selalu harus adil, kemanakah harus mencari keadilan?

Kadang muncul sebuah siluet pada senja hari, dimana memandangi langit diatas genteng tetangga merupakan aktivitas yang sangat meyenangkan bagiku. Kemudian aku mendengar jeritan, salah satu diantara jeritan yang pernah aku dengar selama aku hidup. Jeritan dari seorang bocah laki-laki berusia 11 tahun yang turun dari motor sambil menggendong adiknya yang berusia 3 tahun, yang telah tak bernyawa. Dia menjerit, jeritannya sanngup memecah belah segala kedustaan mengenai kehidupan ini. Beberapa jam yang lalu ibunya dirundung kegalauan yang akali ini berupa kegalauan seorang ibu yang bingung untuk mencari cara menyelamatkan anaknya yang sudah mulai kesulitan bernafas karena buah rambutan yang tersangkut di tenggorokannya. Akhirnya dengan mengandalkan sense keibuannya beliau memasukkan jarinya untuk menarik rambutan tersebut dari tenggorokan sang anak. Sampai beberapa lama jarinya keluar bersimbah darah, darah yang berasal dari tenggorokan itu. Sang ibu mulai menangis, amat ketakutan, merasa bersalah, tidak berdaya. Sementara itu sang bapak yang sedang berlarian kerumah tetangga untuk mencari pinjaman uang agar bisa membawa sang anak ke rumah sakit pun tidak kunjung kembali. Matahari telah hampir meredup, akhrinya ia kembali. Anak sulung dari keluarga tersebut, seorang bocah laki-laki yang menjadi punggung keluarga, dengan pekerjaan serabutannya sebagai pegawai bengkel montor, sembari mendirikan tambal ban di rumahnya, kuli bangunan, pekerja sawah, pengecat dinding,  dan musuhku karena senantiasa jahil dan selalu mengolokku sebagai 'perawan tua'.   

Dia dan bapaknya berangkat ke rumah sakit terdekat dengan membawa adiknya yang sudah tidak sadarkan diri dipangkuannya. Aku hanya merasa heran, saat tak sampai sejam kemudian aku mendengar jeritan itu. Dia membopong adiknya kedalam rumah sambil kemudian berlutut sambil merintih. Tangisannya membuyarkan semua impian, impian para manusia desa yang ingin menjadikan dunia ini seadil-adilnya bagi rakyat yang terpinggir karena materi. Dia berteriak-teriak bahwa dia tahu adiknya telah mati dalam perjalanan, adiknya merengkuh lenggannya dan mencoba memandangnya dengan mata yang melotot-lotot saat sang malaikat nyawa menghampirinya. Dia tahu adiknya ketakutan, adiknya ingin dia menemaninya, adiknya ingin dia menyelamatkannya. Namun ia tidak sanggup. Aku bisa merasakan sedalam apa penyesalannya, akan sampai berapa lama ia akan mengutuk dirinya. Ini sedalam-dalamnya luka, siapakah penyembuhnya???

Beberapa hari setelah hari naas itu ia secara rutin mengunjungi rumahku, ia memberikan sandal adiknya kepada keponakanku, juga beberapa mainan yang biasanya dimainkan oleh adiknya dan keponakanku. Juga setiap pagi dia datang kembali untuk memberikan uang yang disebutnya 'jatah uang jajan' adiknya. Dia suka memeluk keponakanku seolah sedang memeluk adiknya. Satu atau dua bulan kemudian dia datang agak lama, dia membelikan keponakanku sebuah mainan replika truk yang dikatakannya sebagai salah satu yang paling diinginkan oleh adiknya. Ya, sekaligus dia pamit untuk merantau ke luar negeri sebagai TKI dan bertekad akan membawa sekarung uang agar bisa menuruti segala keinginan adiknya yang belum terwujud. Berkali-kali ia bergumam lirih, "andai aku kaya waktu itu, aku akan sampai rumah sakit lebih awal sehingga adikku dapat diselamatkan". Nobody knows boy, 'cause there's Allah who decides everything...

0 komentar: